Biografi Affandi Koesoema Maestro Seni Lukis
Affandi Koesoema adalah seorang pelukis yang
berbakat yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Ia dikenal sebagai Maestro Seni
Lukis dengan gaya abstrak dan romantisme. Selain berbakat, ia juga produktif
dalam melukis, tercatat sepanjang hidupnya ia telah menciptakan kurang lebih
2.000 karya lukis. Karya-karyanya telah dipamerkan di berbagai belahan dunia
seperti; Inggris, Amsterdam, dan India.
Affandi lahir pada tahun 1907 di
Cirebon, Jawa Barat. Ayahnya bernama R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik
gula di Ciledug, Cirebon. (maaf untuk tanggal lahirnya, kami tidak menemukan
referensi yang menuliskan mengenai tanggal lahirnya hanya menuliskan tahun
lahir-nya).
Affandi menerima pendidikan formal
yang cukup tinggi, ia bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS), Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan Algemeene Middelbare School (AMS)
merupakan sekolah yang tinggi pada masa kolonial Belanda hanya segelintir anak
negeri yang dapat pendidikan seperti itu.
Sebelum masuk dalam dunia seni
lukis, Affandi menjadi guru dan pernah bekerja sebagai tukang sobek karcis dan
pembuat gambar reklame disalah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini
tidak lama digeluti karena ia lebih tertarik pada bidang seni lukis.
Bakat seni lukisnya sangat kental
sehingga mengalahkan ilmu-ilmu lainnya yang ada dalam kehidupannya. Pada tahun
1933 saat berumur 26 tahun, ia menikah dengan seorang gadis yang berasal dari
Bogor, yaitu Maryati. Mereka dikaruniai seorang putri yang diberi nama Kartika
Affandi.
Affandi bergabung dalam kelompok
Lima Pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan
Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok
ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan
pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang pada saat itu
sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai yang
terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur,
memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil
bagian.
Pada saat proklamasi tahun 1945,
banyak pelukis ambil bagian. Salah satunya adalah menulis sebuah kata "Merdeka
atau mati" yang ditulis pada gerbong-gerbong kereta dan
tembok-tembok. Affandi mendapat tugas membuat sebuah poster yang menggambarkan
seorang yang dirantai, tapi rantainya telah putus. Kata-kata yang dituliskan
pada poster tersebut adalah "Boeng, ayo boeng" yang merupakan
usulan dari Chairil Anwar.
Berkat bakat melukisnya yang bagus,
Affandi mendapatkan beasiswa kuliah pada jurusan melukis di Santiniketan,
India. Namun saat tiba di India, ia ditolak dengan alasan bahwa ia dinilai
sudah tidak memerlukan pendidikan dalam seni lukis. Akhirnya ia menggunakan
biaya beasiswanya tersebut untuk mengadakan pameran keliling India.
Sepulang dari India, pada tahun
1950-an, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang yang tidak
berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah ia, seperti Prof. Ir.
Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang yang tidak
berpartai.
Hal yang dibahas oleh Affandi adalah
mengenai perikebinatangan, bukan perikemanusiaan. Ia merupakan seorang pelukis
yang dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan itulah sebabnya ia membahas
mengenai perikebinatangan. Pada tahun 1955, saat ia mempersoalkan
perikebintangan, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat
rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang
dibubarkan oleh rezim Suharto. Ia juga bagian dari Lembaga Seni Rupa bersama
Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun 1960-an, gerakan anti
imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS
yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika,
diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di
gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, mengadakan pameran di sana.
Karya
Lukis
Sepanjang hidupnya, Affandi telah
menghasilkan kurang lebih 2.000 karya lukis. Karya-karyanya dipamerkan ke
berbagai negara di dunia, baik di benua Asia, benua Eropa, maupun benua
Amerika. Saat melukis ia mengelola warna untuk mengekspresikan apa yang ia
lihat dan rasakan tentang sesuatu, ia juga lebih sering menumpahkan langsung
cairan cat dari tubenya kemudian menyapu cat tersebut dengan jari-jarinya.
Untuk mendekatkan dan memperkenalkan
karya-karyanya kepada para pecinta seni lukis, Affandi sering mengadakan
pameran di berbagai tempat. Salah satunya di negara India, ia telah mengadakan
pameran keliling ke berbagai kota. Demikian juga di berbagai negara di Eropa,
Amerika serta Australia.
Di Eropa, ia telah mengadakan
pameran antara lain di London, Amsterdam, Brussels, Paris dan Roma. Begitu juga
di negara-negara benua Amerika seperti di Brazilia, Venezia, San Paulo, dan
Amerika Serikat. Hal demikian jugalah yang membuat namanya dikenal di berbagai
belahan dunia. Salah satu karya lukis dari Affandi dapat Anda lihat di bawah
ini, lukisan ini diberi judul Para Pejuang 1972.
Dalam perjalanannya berkarya ia
dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau
abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain
terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya.
Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tariknya.
Kesederhanannya dalam melukis pernah
terlihat ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para
kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran
ekspresionisme, namun ketika itu justru Affandi balik bertanya, aliran apa itu
?
Bahkan, dalam keseharian, ia sering
mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau. Mungkin karena kerbau adalah
binatang yang dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang maestro yang tidak gemar
berteori dan lebih suka bekerja secara nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan
dirinya menjalankan profesi sebagai pelukis yang tidak cuma musiman pameran.
Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya, ia tidak overacting.
Pameran
Dalam memperkenalkan karya-karyanya,
yaitu melalui pameran. Berikut ini beberapa pameran yang pernah diselenggarakan
oleh Affandi;
- Museum of Modern Art (Rio de Janeiro, Brazil, 1966)
- East-West Center (Honolulu, 1988)
- Festival of Indonesia (AS, 1990-1992)
- Gate Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)
- Singapore Art Museum (1994)
- Centre for Strategic and International Studies (Jakarta, 1996)
- Indonesia-Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)
- ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)
Penghargaan
Pada tahun 1977, Affandi mendapat
hadiah perdamaian dari International Dag Hammershjoeld. Menjadi anggota Akademi
Hak-hak Azasi Manusia yang diangkat oleh Komite Pusat Diplomatic Academy of
Peace PAX MUNDI di Castelo San Marzano, Florence, Italia.
Pada tahun 1978, Pemerintah Republik
Indonesia memberikan penghargaan kepada Affandi, yaitu "Bintang Jasa
Utama". Dan sejak tahun 1986, ia diangkat menjadi Anggota Dewan
Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di Wakil Presiden Republik Indonesia
tahun 1972-1978 di Yogyakarta.
Pada tahun 1976, Prix
International Dag Hammerskjoeld menerbitkan sebuah buku kenang-kenangan
tentang Affandi. Buku dengan tebal 189 halaman lebih itu diterbitkan
dalam 4 bahasa, yaitu dalam bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan
Indonesia. Demikian juga Penerbitan Yayasan Kanisius, telah menerbitkan
sebuah buku tentang Affandi karya Nugraha Sumaatmadja pada tahun 1975.
Museum
Affandi
Sebuah museum yang diresmikan oleh
Fuad Hassan. Museum ini menyimpan hasil karya lukis Affandi. Museum ini
didirikan tahun 1973 di atas tanah yang menjadi tempat tinggalnya, yang
terletak di Jalan Laksda Adisucipto, Yogyakarta.
Terdapat sekitar 1.000-an lebih
lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi.
Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif
yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga selesai, sehingga
tidak dijual.
Galeri II adalah lukisan teman-teman
Affandi, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal seperti Basuki
Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan lain-lain. Adapun
galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.
Galeri III, saat ini terpajang
lukisan-lukisan terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan
itu antara lain Apa yang Harus Kuperbuat (Januari 1999), Apa
Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi (Februari 1999), Tidak Adil
(Juni 1999), Kembali Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan
KepadaNya (Juli 1999). Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta
Juki Affandi.
Meninggal
Dunia
Affandi merupakan salah satu pelukis
besar Indonesia bersama pelukis besar lainnya seperti Basuki Abdullah, Raden
Saleh dan lain-lain. Namun karena berbagai keistimewaan dala karya-karyanya,
para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai sebutan dan julukan Koran
International Herald Tribune yang menjulukinya sebagai Pelukis
Ekspressionis Baru Indonesia sementara di Florence, Italia dia telah diberi
gelar Grand Maestro.
Bagi Affandi, melukis adalah
bekerja. Ia melukis seperti orang lapar. Sampai pada kesan elitis soal sebutan
pelukis, ia hanya ingin disebut sebagai tukang gambar. Lebih jauh ia berdalih
bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk disebut seniman, dan ia
tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga.
Affandi tetap menggeluti profesi
sebagai pelukis hingga ia meninggal pada Mei 1990. Ia di makamkan tidak jauh
dari museum yang didirikannya tersebut.
Biografi Chairil Anwar Penyair Indonesia
Chairil Anwar adalah seorang penyair yang berasal dari Indonesia. Chairil
Anwar mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah
Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Ia juga dikenal
sebagai “Si Binatang Jalang” dalam karya-nya, yaitu "Aku". Ia
telah menulis sebanyak 94 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan
Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus
puisi modern Indonesia.
Biodata
Chairil Anwar
Nama Lengkap : Chairil Anwar
Tanggal Lahir : 26 Juli 1922
Tempat Lahir : Medan, Indonesia
Pekerjaan : Penyair
Kebangsaan : Indonesia
Orang tua : Toeloes (ayah) dan
Saleha (ibu)
Biografi
Chairil Anwar
Chairil Anwar dilahirkan di Medan,
Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan
Toeloes dan Saleha, ayahnya berasal dari Taeh Baruah. Ayahnya pernah menjabat
sebagai Bupati Kabupaten Inderagiri, Riau. Sedangkan ibunya berasal dari
Situjug, Limapuluh Kota Ia masih punya pertalian kerabat dengan Soetan Sjahrir,
Perdana Menteri pertama Indonesia.
Sebagai anak tunggal yang biasanya
selalu dimanjakan oleh orang tuanya, namun Chairil Anwar tidak mengalami hal
tersebut. Bahkan ia dibesarkan dalam keluarga yang terbilang tidak baik. Kedua
orang tuanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Chairil lahir dan dibesarkan
di Medan, sewaktu kecil Nenek dari Chairil Anwar merupakan teman akrab yang
cukup mengesankan dalam hidupnya. Kepedihan mendalam yang ia alami pada saat
neneknya meninggal dunia.
Chairil Anwar bersekolah di
Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi
pada masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda,
tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai menulis puisi ketika remaja, tetapi
tidak satupun puisi yang berhasil ia buat yang sesuai dengan keinginannya.
Meskipun ia tidak dapat
menyelesaikan sekolahnya, tetapi ia tidak membuang waktunya sia-sia, ia mengisi
waktunya dengan membaca karya-karya pengarang Internasional ternama, seperti :
Rainer Maria Rike, W.H. Auden, Archibald Macleish, Hendrik Marsman, J.
Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Ia juga menguasai beberapa bahasa asing seperti
Inggris, Belanda, dan Jerman.
Pada saat berusia 19 tahun, ia
pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) bersama dengan ibunya pada tahun 1940
dimana ia mulai kenal dan serius menggeluti dunia sastra. Puisi pertama yang
telah ia publikasikan, yaitu pada tahun 1942. Chairil terus menulis berbagai
puisi. Puisinya memiliki berbagai macam tema, mulai dari pemberontakan,
kematian, individualisme, dan eksistensialisme.
Selain nenek, ibu adalah wanita yang
paling Chairil cinta. Ia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan
sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil
acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan
kecintaannya pada ibunya.
Dunia Sastra
Nama Chairil Anwar mulai terkenal
dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun
1942, pada saat itu dia berusia dua puluh tahun. Namun, saat pertama kali
mengirimkan puisi-puisinya di "Majalah Pandji" untuk dimuat, banyak
yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis. Hampir semua puisi-puisi
yang dia tulis merujuk pada kematian. Puisinya beredar di atas kertas murah
selama masa pendudukan Jepang di Indonesia yang tidak diterbitkan hingga tahun
1945.
Salah satu puisinya yang paling
terkenal dan sering dideklamasikan berjudul Aku ("Aku mau hidup Seribu
Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra
asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya
Siasat "Gelanggang" dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan
"Gelanggang Seniman Merdeka" pada tahun 1946.
Kumpulan puisinya antara lain:
Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949),
Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Seniman Pelopor Angkatan 45 Asrul Sani dan
Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (1986), Koleksi sajak 1942-1949",
diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986);
Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul
Aku ini Binatang Jalang (1986).
Karya-karya terjemahannya adalah:
Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John
Steinbeck). Karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman
dan Spanyol antara lain “Sharp gravel, Indonesian poems”, oleh Donna M.
Dickinson (Berkeley, California, 1960); “Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah,
Chairil Anwar, Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar:
Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions,
1963); “Only Dust: Three Modern Indonesian Poets”, oleh Ulli Beier (Port
Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969).
Ketika menjadi penyiar radio Jepang
di Jakarta, Chairil jatuh cinta kepada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya
Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Kemudian ia
memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka
dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun karena masalah kesulitan
ekonomi, mereka berdua akhirnya bercerai pada akhir tahun 1948.
Karya-karya yang Membahas Mengenai Chairil Anwar
1.
Chairil Anwar: memperingati hari 28
April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan,
Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
2.
Boen S. Oemarjati, "Chairil
Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972)
3.
Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit
pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas
Hasanuddin, 1974)
4.
S.U.S. Nababan, "A Linguistic
Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
5.
Arief Budiman, "Chairil Anwar:
Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976).
6.
Robin Anne Ross, Some Prominent
Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
7.
H.B. Jassin, "Chairil Anwar,
pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta:
Gunung Agung, 1983)
8.
Husain Junus, "Gaya bahasa
Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
9.
Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa
puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
10.
Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan
perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
11.
Pamusuk Eneste, "Mengenal
Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
12.
Zaenal Hakim, "Edisi kritis
puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)
13.
Drama Pengadilan Sastra Chairil
Anwar karya Eko Tunas, sutradara Joshua Igho, di Gedung Kesenian Kota Tegal
(2006)
Akhir
Hayat
Vitalitas puitis Chairil tidak
pernah diimbangi dengan kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun,
sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah
Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal
28 April 1949, penyebab kematiannya tidak diketahui pasti. Ia dimakamkan sehari
kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.
Menurut catatan rumah sakit
tersebut, ia dirawat karena tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya sudah lama
menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang menyebabkan dirinya makin lemah,
sehingga timbullah penyakit usus yang membawa kematian dirinya yakni ususnya
pecah. Tapi, menjelang akhir hayatnya ia menggigau karena tinggi panas
badannya, dan di saat dia insaf akan dirinya dia mengucap, "Tuhanku,
Tuhanku...".
Makamnya diziarahi oleh ribuan
pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati
sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw
menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema
menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".
No comments:
Post a Comment