11 September 2016

PELUKIS DAN SASTRAWAN INDONESIA



Biografi Affandi Koesoema Maestro Seni Lukis

 Affandi Koesoema adalah seorang pelukis yang berbakat yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Ia dikenal sebagai Maestro Seni Lukis dengan gaya abstrak dan romantisme. Selain berbakat, ia juga produktif dalam melukis, tercatat sepanjang hidupnya ia telah menciptakan kurang lebih 2.000 karya lukis. Karya-karyanya telah dipamerkan di berbagai belahan dunia seperti; Inggris, Amsterdam, dan India.


 
Affandi lahir pada tahun 1907 di Cirebon, Jawa Barat. Ayahnya bernama R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. (maaf untuk tanggal lahirnya, kami tidak menemukan referensi yang menuliskan mengenai tanggal lahirnya hanya menuliskan tahun lahir-nya).

Affandi menerima pendidikan formal yang cukup tinggi, ia bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan Algemeene Middelbare School (AMS) merupakan sekolah yang tinggi pada masa kolonial Belanda hanya segelintir anak negeri yang dapat pendidikan seperti itu.

Sebelum masuk dalam dunia seni lukis, Affandi menjadi guru dan pernah bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame disalah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena ia lebih tertarik pada bidang seni lukis.

Bakat seni lukisnya sangat kental sehingga mengalahkan ilmu-ilmu lainnya yang ada dalam kehidupannya. Pada tahun 1933 saat berumur 26 tahun, ia menikah dengan seorang gadis yang berasal dari Bogor, yaitu Maryati. Mereka dikaruniai seorang putri yang diberi nama Kartika Affandi. 
Affandi bergabung dalam kelompok Lima Pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia.

Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang pada saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur, memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian.

Pada saat proklamasi tahun 1945, banyak pelukis ambil bagian. Salah satunya adalah menulis sebuah kata "Merdeka atau mati" yang ditulis pada gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok. Affandi mendapat tugas membuat sebuah poster yang menggambarkan seorang yang dirantai, tapi rantainya telah putus. Kata-kata yang dituliskan pada poster tersebut adalah "Boeng, ayo boeng" yang merupakan usulan dari Chairil Anwar.

Berkat bakat melukisnya yang bagus, Affandi mendapatkan beasiswa kuliah pada jurusan melukis di Santiniketan, India. Namun saat tiba di India, ia ditolak dengan alasan bahwa ia dinilai sudah tidak memerlukan pendidikan dalam seni lukis. Akhirnya ia menggunakan biaya beasiswanya tersebut untuk mengadakan pameran keliling India.

Sepulang dari India, pada tahun 1950-an, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang yang tidak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah ia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang yang tidak berpartai. 

Hal yang dibahas oleh Affandi adalah mengenai perikebinatangan, bukan perikemanusiaan. Ia merupakan seorang pelukis yang dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan itulah sebabnya ia membahas mengenai perikebinatangan. Pada tahun 1955, saat ia mempersoalkan perikebintangan, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah. 

Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Ia juga bagian dari Lembaga Seni Rupa bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.

Pada tahun 1960-an, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, mengadakan pameran di sana.
Karya Lukis
Sepanjang hidupnya, Affandi telah menghasilkan kurang lebih 2.000 karya lukis. Karya-karyanya dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik di benua Asia, benua Eropa, maupun benua Amerika. Saat melukis ia mengelola warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan tentang sesuatu, ia juga lebih sering menumpahkan langsung cairan cat dari tubenya kemudian menyapu cat tersebut dengan jari-jarinya.

Untuk mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya kepada para pecinta seni lukis, Affandi sering mengadakan pameran di berbagai tempat. Salah satunya di negara India, ia telah mengadakan pameran keliling ke berbagai kota. Demikian juga di berbagai negara di Eropa, Amerika serta Australia. 

Di Eropa, ia telah mengadakan pameran antara lain di London, Amsterdam, Brussels, Paris dan Roma. Begitu juga di negara-negara benua Amerika seperti di Brazilia, Venezia, San Paulo, dan Amerika Serikat. Hal demikian jugalah yang membuat namanya dikenal di berbagai belahan dunia. Salah satu karya lukis dari Affandi dapat Anda lihat di bawah ini, lukisan ini diberi judul Para Pejuang 1972.


Dalam perjalanannya berkarya ia dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tariknya.

Kesederhanannya dalam melukis pernah terlihat ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran ekspresionisme, namun ketika itu justru Affandi balik bertanya, aliran apa itu ?

Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau. Mungkin karena kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang maestro yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai pelukis yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya, ia tidak overacting.

Pameran
Dalam memperkenalkan karya-karyanya, yaitu melalui pameran. Berikut ini beberapa pameran yang pernah diselenggarakan oleh Affandi;
  1. Museum of Modern Art (Rio de Janeiro, Brazil, 1966)
  2. East-West Center (Honolulu, 1988)
  3. Festival of Indonesia (AS, 1990-1992)
  4. Gate Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)
  5. Singapore Art Museum (1994)
  6. Centre for Strategic and International Studies (Jakarta, 1996)
  7. Indonesia-Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)
  8. ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)
Penghargaan
Pada tahun 1977, Affandi mendapat hadiah perdamaian dari International Dag Hammershjoeld. Menjadi anggota Akademi Hak-hak Azasi Manusia yang diangkat oleh Komite Pusat Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San Marzano, Florence, Italia.

Pada tahun 1978, Pemerintah Republik Indonesia memberikan penghargaan kepada Affandi, yaitu "Bintang Jasa Utama". Dan sejak tahun 1986, ia diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di Wakil Presiden Republik Indonesia tahun 1972-1978 di Yogyakarta.

Pada tahun 1976, Prix International Dag Hammerskjoeld menerbitkan sebuah buku kenang-kenangan tentang Affandi. Buku dengan tebal 189 halaman lebih itu diterbitkan dalam 4 bahasa, yaitu dalam bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Indonesia. Demikian juga Penerbitan Yayasan Kanisius, telah menerbitkan sebuah buku tentang Affandi karya Nugraha Sumaatmadja pada tahun 1975.

Museum Affandi
Sebuah museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan. Museum ini menyimpan hasil karya lukis Affandi. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang menjadi tempat tinggalnya, yang terletak di Jalan Laksda Adisucipto, Yogyakarta.


Terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga selesai, sehingga tidak dijual. 

Galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan lain-lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.

Galeri III, saat ini terpajang lukisan-lukisan terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu antara lain Apa yang Harus Kuperbuat (Januari 1999), Apa Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi (Februari 1999), Tidak Adil (Juni 1999), Kembali Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan KepadaNya (Juli 1999). Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki Affandi.

Meninggal Dunia
Affandi merupakan salah satu pelukis besar Indonesia bersama pelukis besar lainnya seperti Basuki Abdullah, Raden Saleh dan lain-lain. Namun karena berbagai keistimewaan dala karya-karyanya, para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai sebutan dan julukan Koran International Herald Tribune yang menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia sementara di Florence, Italia dia telah diberi gelar Grand Maestro.

Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Ia melukis seperti orang lapar. Sampai pada kesan elitis soal sebutan pelukis, ia hanya ingin disebut sebagai tukang gambar. Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga.

Affandi tetap menggeluti profesi sebagai pelukis hingga ia meninggal pada Mei 1990. Ia di makamkan tidak jauh dari museum yang didirikannya tersebut.



Biografi Chairil Anwar Penyair Indonesia


Chairil Anwar adalah seorang penyair yang berasal dari Indonesia. Chairil Anwar mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Ia juga dikenal sebagai “Si Binatang Jalang” dalam karya-nya, yaitu "Aku".  Ia telah menulis sebanyak 94 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.

Biodata Chairil Anwar

Nama Lengkap : Chairil Anwar
Tanggal Lahir : 26 Juli 1922
Tempat Lahir : Medan, Indonesia
Pekerjaan : Penyair
Kebangsaan : Indonesia
Orang tua : Toeloes (ayah) dan Saleha (ibu)

Biografi Chairil Anwar
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha, ayahnya berasal dari Taeh Baruah. Ayahnya pernah menjabat sebagai Bupati Kabupaten Inderagiri, Riau. Sedangkan ibunya berasal dari Situjug, Limapuluh Kota Ia masih punya pertalian kerabat dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.

Sebagai anak tunggal yang biasanya selalu dimanjakan oleh orang tuanya, namun Chairil Anwar tidak mengalami hal tersebut. Bahkan ia dibesarkan dalam keluarga yang terbilang tidak baik. Kedua orang tuanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sewaktu kecil Nenek dari Chairil Anwar merupakan teman akrab yang cukup mengesankan dalam hidupnya. Kepedihan mendalam yang ia alami pada saat neneknya meninggal dunia.

Chairil Anwar bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai menulis puisi ketika remaja, tetapi tidak satupun puisi yang berhasil ia buat yang sesuai dengan keinginannya.

Meskipun ia tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, tetapi ia tidak membuang waktunya sia-sia, ia mengisi waktunya dengan membaca karya-karya pengarang Internasional ternama, seperti : Rainer Maria Rike, W.H. Auden, Archibald Macleish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Ia juga menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.


Pada saat berusia 19 tahun, ia pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) bersama dengan ibunya pada tahun 1940 dimana ia mulai kenal dan serius menggeluti dunia sastra. Puisi pertama yang telah ia publikasikan, yaitu pada tahun 1942. Chairil terus menulis berbagai puisi. Puisinya memiliki berbagai macam tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme.

Selain nenek, ibu adalah wanita yang paling Chairil cinta. Ia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Dunia Sastra
Nama Chairil Anwar mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia berusia dua puluh tahun. Namun, saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di "Majalah Pandji" untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia yang tidak diterbitkan hingga tahun 1945.


Salah satu puisinya yang paling terkenal dan sering dideklamasikan berjudul Aku ("Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat "Gelanggang" dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan "Gelanggang Seniman Merdeka" pada tahun 1946.

Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Seniman Pelopor Angkatan 45 Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (1986), Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).

Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck). Karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol antara lain “Sharp gravel, Indonesian poems”, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); “Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); “Only Dust: Three Modern Indonesian Poets”, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969).

Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta kepada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun karena masalah kesulitan ekonomi, mereka berdua akhirnya bercerai pada akhir tahun 1948.



Karya-karya yang Membahas Mengenai Chairil Anwar
1.         Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
2.         Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972)
3.         Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
4.         S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
5.         Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976).
6.         Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
7.         H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
8.         Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
9.         Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
10.     Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
11.     Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
12.     Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)
13.     Drama Pengadilan Sastra Chairil Anwar karya Eko Tunas, sutradara Joshua Igho, di Gedung Kesenian Kota Tegal (2006)
Akhir Hayat
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi dengan kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949, penyebab kematiannya tidak diketahui pasti. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. 
Menurut catatan rumah sakit tersebut, ia dirawat karena tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang menyebabkan dirinya makin lemah, sehingga timbullah penyakit usus yang membawa kematian dirinya yakni ususnya pecah. Tapi, menjelang akhir hayatnya ia menggigau karena tinggi panas badannya, dan di saat dia insaf akan dirinya dia mengucap, "Tuhanku, Tuhanku...".
Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".

No comments:

Post a Comment