KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur kami hanturkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah
melimpahkan seluruh anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan pemakalah yang berjudul “ SEJARAH POLITIK INDONESIA (Masa Orde Baru dan Reformasi)” dengan
sebaik mungkin
Tiada segala kesempurna pada diri manusia, namun hanya ada
usaha untuk menjadi lebih baik. Makalah ini pun pasti ada ketidak sempurnaan,
akan tetapi didalam ketidak sempurnaan tersebut, sedikit banyaknya terurai
pengetahuan yang dapat dijadikan suatu bahan kuliah sebagai tambahan ilmu.
Semua orang tahu bahwa kesuksesan tidak datang secara
tiba-tiba namun diperlukan segala usaha yang baik dan disertai doa, setelah
semuanya terlewati maka hasil yang diinginkan pun akan muncul. Hal yang
terpenting jangan terlupakan yaitu “Membaca berarti kita sedang membuka jendela
dunia, maka dari itu membacalah agar dirimu mulia”
Akhir kata, semoga isi makalah ini dapat memberikan manfaat
yang maksimal bagi kita semua. Tak lupa kami meminta kritik dan saran agar tercipta makalah kami sempurna
selanjutnya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
A. LATAR BELAKANG....................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................... 3
C. TUJUAN MASALAH........................................................................................ 3
D. PENULISAN SEJARAH POLITIK
INDONESIA......................................... 4
E. PEMAHAMAN SEJARAH POLITIK ORDE BARU...................................... 6
1. Periodisasi Politik Orde Baru.............................................................................. 6
a.
Periode Honeymoon............................................................................................ 7
b.
Periode Stalinist................................................................................................... 7
c.
Periode keterbukaan............................................................................................ 8
d.
Periode krisis....................................................................................................... 8
2. Hubungan Lembaga-lembaga Politik
Orde Baru................................................. 9
a)
Lembaga kepresidenan yang Dominan................................................................ 9
b)
Lembaga peradilan yang tidak
independen......................................................... 12
3. Hubungan Negara dan Masyarakat..................................................................... 12
4. Praktik Negara hegemonik dan koersif................................................................ 13
5. Militer, Parpol dan dampaknya
terhadap HAM.................................................. 14
6. Kebijakan Politik Aliran...................................................................................... 15
F. REFORMASI..................................................................................................... 15
G. PERGESERAN POLITIK ERA REFORMASI................................................ 16
H. KESIMPULAN................................................................................................... 17
I. DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 18
A. LATAR
BELAKANG
Sistem politik Indonesia tidak bisa
dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia sejak zaman kerajaan, penjajahan,
kemerdekaan sampai masa reformasi sekarang. Para founding father bangsa
telah merumuskan secara seksama sistem politik yang menjadi acuan dalam
pengelolaan negara. Hal ini tentunya dilakukan dengan melihat kondisi dan
situasi bangsa pada saat itu. Sistem politik Indonesia pada masa reformasi saat
ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Bermunculan lembaga dan
sistem yang baru dalam rangka merespon permasalahan bangsa yang semakin
kompleks. Berdasarkan hal tersebut, makalah ini menyajikan pembahasan ini
sebagai dasar untuk pengenalan lebih jauh tentang apa dan bagaimana sistem
politik Indonesia. Walaupun tidak secara spesifik membahas mengenai sistem
politik sejak zaman kerajaan sampai masa reformasi, sistem kepartaian, sistem
pemilihan umum, dan fungsi serta kedudukan lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Namun sedikit banyaknya dapat memberi gambaran tentang pembahasan
politik di Indonesia masa Orde Baru hingga Era Reformasi.
Dalam melakukan analisis sistem bisa
dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian,
tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan
proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus
dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem,
pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan
Proses politik mengisyaratkan harus
adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk
menghadapi kenyataan dan tantangan.Pandangan mengenai keberhasilan dalam
menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik.Ahli politik zaman
klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad
ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dari sudut moral.Sedangkan pada masa
modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance
level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat,
lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Sistem pemerintahan Orba di mulai
pada tanggal 11 Meret 1966 sampai dengan 21 mei 1998. Selama 32 tahun
pemerintah Soeharto memimpin negara RI, telah terjadi pemusatan kekuasaan
negara di tangan presiden. Secara formal memang anggota MPR di pilih melalui
pemilu, namun sesungguhnya pemilu itu hanya mengisi 40% anggota MPR. Selebihnya
60% anggota sangat bergantung kepada presiden.Selaku panglima tertinggi ABRI
presiden mempunyai kuasa untuk menentukan utusan ABRI di DPR/MPR. Presiden pun
mempunyai kuasa untuk menentukan wakil-wakil dari berbagai kelompok masyarakat
ke dalam utusan golongan di MPR. Presiden melaui Mendagri juga mempunyai
pengaruh dalam penentuan wakil dari daerah ke dalam Utusan Daerah di MPR. Dan
para anggota DPR hasil pemilu serta anggota tambahan untuk partai peserta
pemilu di MPR, yang mayoritas berasal dari partai Golkar, juga tidak terlepas
dari pengaruh presiden selaku ketua dewan pembina Golkar.
Disini tampak bahwa pelaksanaan
sistem pemerintahan presidensial di masa Orba memiliki kemiringan dengan
pelaksanaan sistem ini di masa demokrasi terpimpin. Pemabasan hak politik
rakyat ( hanya boleh ada 3 parpol, dan satu wadah tunggal bagi masing-masing
keompok kepentingan). Pemuasan kekuasaan di tangan presiden, pembentukan
lembaga ekstrakonstitusional.
Namun harus di catat pula bahwa
pemerintahan Orba relatif “berhasil” melakukan pembangunan ekonomi. Sayang
bahwa prestasi dalam bidang ekonomi itu tidak di barengi dengan prestasi politik.
Merebaknya praktek KKN, serta kesenjangan kaya miskin yang cukup terasa
menyebabkan semangkin menumpuknya ketidakpuasan di kalangan masyarakat.
Ketidakpuasan yang berkembang di masyarakat kemudian terakumulasi dalam
gerakan-gerakan protes mahasiswa, yang mendapat momentum ketika krisis ekonomi
mulai melanda wilayah RI di tahun 1997. Perpaduan di antara dua hal itu telah
mendorong turunya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden.
Pemerintah orba yang otoriter
berakhir setelah gerakan mahasiswa berhasil mendesak Soeharto untuk
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden. Pernyataan
mengundurkan diri itu dilakukan pada tanggal 21 mei 1998 dan sekaligus
mengakhiri Orba (Bambang, 2002:70).
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana perkembangan sejarah
politik Indonesia yang terjadi?
2.
Apa saja hal penting yang harus di
pahami dalam sejarah politik orde Baru dan Reformasi di Indonesia?
C. TUJUAN
MASALAH
1.
Ingin lebih mengetahui sejauh mana
perkembangan sejarah politik Indonesia
2.
Ingin mengetahui hal penting apa
saja yang harus dipahami dalam politik Orde Baru dan Reformasi
D. PENULISAN
SEJARAH POLITIK INDONESIA
Menulis sejarah politik, tidak
semudah menulis sejarah atau disiplin ilmu lain, terutama menulis sejarah politik
di Negara-negara yang di kontrol oleh rezim otoriter. Seorang sejarawan asing,
profesor dari School of Asian and Internasional Studies, Griffith University
yang menjabat sebagai Director Griffith Asia Pacific Council, Elson menulis
dalam sebuah catatan ringkas tentang sejarah politik Indonesia.
Menurutnya
tidak banyak tulisan yang dibuat ahli sejarah tentang politik di Indonesia
kontemporer. Karya-karya besar mengenai politik di Indonesia kontemporer jika
adapun justru tidak ditulis oleh sarjana yang memiliki latar belakang sejarah.
Anderson misalnya menulis tentang “jawa pada masa Revolusi,” Herbert faeith
menulis “Runtuhnya Demokrasi konstitusional,” sementara Richard Robison
menghasilkan karya “Indonesia: Rise capital,” mereka adalah sarjana di bidang
politik, antropologi-politik dan ekonomi-politik.
Menurut Elson Fenomena semacam itu
terjadi disebakan karena beberapa faktor di antaranya, karena disiplin sejarah
di Indonesia tidak memperoleh iklim yang kondusif, sehingga tradisi intelektual
dalam penulisan sejarah politik tergolong sangat lemah. Peristiwa sejarah di
negeri yang amat krusial, misalnya tentang siapa sebenarnya yang menemukan
tubuh para para jenderal di Lubang Buaya, atau dimana sebenarnya teks asli
supersemar, tidak bisa di ungkapkan melalu sebuah penelitian dan kajian secara
intelektual. Elson berkesimpulan bahwa Indonesia bukan tempat yang bagus bagi
ahli sejarah, terutama sejarawan asing melakukan penelitian sejarah guna
mendapatkan informasi dan bahan-bahan sejarah politik seperti itu membutuhkan
stamina, kesabaran dan juga keberanian. Tak kalah menariknya memerlukan
kepandaian untuk mengambil sikap.
Menurut
Elson Dari segi subjek material, sejarah politik di Indonesia memuat tema dan
plot yang sebagian berhubungan dan yang lain lagi terpisah-pisah menyangkut
perputaran kalaedoskop orang,emosi, kepentingan, tipuan, kebangsawanan dan juga
kekerasan yang kesemua itu tidak begitu saja mudah ditafsirkan. Melihat
fenomena sejarah politik di Indonesia secara empirik seperti itu maka jelaslah
bahwa penulis sejarah politik di negeri ini tidak semudah yang dibayangkan
orang. Penulis sejarah politik tersebut membutuhkan keahlian tersendiri dan
ironisnya jumlah mereka yang memiliki keahlian seperti itu tidaklah banyak.
Maka
demikian bangsa Indonesia secara tipikal dikenal sebagai bangsa yang sejarah
minded. Begitu banyak proses pembentukan identitas bangsa ini dibentuk atas
dasar sejarah masa lalu. Namun karena tidak dilakukan atas tradisi intelektual
yang baik, pembentukan identitas tersebut walaupun didasarkan kepada sejarah
masa lalu terkesan distrotif, simplifikatif dan bahkan didasarkan kepada
penafsir sejarah yang menimbulkan kesadaran, wacana, dan bahkan kebijakan yang
keliru.
Pemahaman
simplifikatif yang menyesatkan karena keterpentingan politik telah mendistorsi
penafsiran sejarah sebagaimana penafsir yang menyatakan soekarno adalah
pemimpin besar revolusi, bahwa demokrasi parlementer tahun 1950 adalah salah,
tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang menganut paham kekeluargaan. Belakangan
bangsa ini juga member predikat kepada soeharto Sebagai sosok yang tidak pernah
membuat sejarah apa-apa selama masa Orde Baru selain korupsi melulu.
Begitu
banyak pertanyaan yang bisa di ajukan berkaitan dengan kepolitikan Indonesia
kontemporer. Misalnya seberapa penting institusi politik? Apa peran yang telah
dimainkan oleh partai politik, parlemen dan militer dalam membangun demokrasi
di Indonesia? Adakah perubahan hubungan institusi-institusi politik itu dengan
birokrasi? Bisakah kita berbicara ideology politik di Indonesia? Apakah basis
kepemimpinan politik di Indonesia? Mengapa sejarah politik Indonesia
kontemporer penuh dengan kelangsungan sejarah bangsa ini untuk menghadapi masa
depan setelah mengalami diskontinyuitas di masa lalu?.
Semua pertanyaan tersebut dapat
diperpanjangkan dan yang menjadi point penting adalah bagaiamana ahli sejarah
member konstribusi dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara lebih
serius, terbatas dari bias kepentingan, bias ideology maupun bias teoritik, sehingga
menghasilkan penulisan sejarah yang lebih jujur dan terpenuhi syarat-syarat
metodologis yang diperlukan.
E. PEMAHAMAN
SEJARAH POLITIK ORDE BARU
Tidaklah mudah memahami sejarah
kontemporer, khususnya masa Orde Baru, apalagi melihatnya di tengah
perkembangan politik di jamin Reformasi sebuah era yang muncul sebagai kritik
dan kekecewaan terhadap kinerja Orde Baru. Kecenderungan untuk melihat hitam
putih menjadi sulit dihindari. Banyak ahli yang dengan mudah turut terjebak
kepada problematika teoritik maupun interes yang komplek, sehingga tidak bisa
melihat sejarah politik Orde Baru dalam kacamata yang objektif. Mereka tidak
kuasa mengambil jarak (withdrawl)
dari arus besar yang berkembang pada era reformasi, dan kemudian melihatnya
secara dikotomis, bahwa reformasi adalah “buku putih,” sedangkan Orde Baru
adalah “buku hitam” dalam sejarah kepolitikan Indonesia.
Bahwa sejarah politik Orde Baru
menghasilkan krisis memang tidak bisa dibantah, tetapi Orde Baru bukanlah
sebuah fenomena politik yang monolitik, yang dijelaskan dengan menggunakan satu
atau dua kata kunci saja. Orde Baru belakangan menanpilkan cirinya yang
otoritarian. Namun sebenarnya Orde Baru juga tercatat memiliki komitmen
menumbuhkan demokrasi terutama fase awal pertumbuhan Orde yang dipimpin oleh
jenderal Besar Haji Muhammad Soeharto ini. Oleh karena itu ada sejumlah
komentator yang menyatakan bahwa Soeharto “take off” dengan benar, tetapi
kemudian “landing” dengan cara keliru.
1. Periodisasi
Politik Orde Baru
Jadi politik Orde Baru adalah
fenomena kompleks sehingga jauh dari monolitik. Dengan demikian ada manfaatnya
melihat Orde Baru dengan melakukan pentahapan seperti di lakukan oleh Andreas
Vickers seorang associate professor di Universitas Wollongong Australia. Vikers
membagi sejarah Orde Baru dalam tiga babak yang saling berkaitan satu sama
lain, yaitu fase Honeymoon, Stalinist dan fase Keterbukaan.
Vikers tidak memasukkan secara khusus periode krisis
pemerintahan Orde Baru, terutama pada tahun-tahun terakhir menjelang kejatuhan
rezim soeharto. Selayaknya masa krisis ini dicatat tersendiri, sehingga
genapnya periodesiasi politik masa Orde Baru itu meliputi sebagai berikut
a. Periode
Honeymoon
Fase pertama, mengutip pendapat Umar
Kayam, Vikers menyebut periode 1967-1974 sebagai fase Honeymoon. Pada periode
ini sistem politik di negeri ini relative terbuka. Bangsa Indonesia bisa
menikmati kebebasan pers. Militer tidak mendominasi banyak aspek pemerintahan.
Sebaliknya, militer menjalin aliansi dengan mahasiswa, kelompok islam dan
sejumlah tokoh politik pada masa soekarno. Soeharto menjalin hubungan erat
sehingga menjadi jalinan triumvirate yang kuat dengan Adam malik yang dikenal
sebagai tokoh politik kekirian ( Tan Malakaist) dan Hamengkubuwono IX (9) yang
dikenal sebagai Soekarnois liberal.
Periode ini di akhiri dengan peristiwa Malari yang sertai
dengan dimulainya tekanan atas kekuatan mahasiswa di satu pihak dan di lain
pihak sebuah upaya Soeharto membangun kekuatan dari tekanan lawan politik di
tubuh militer. Arus politik pada masa itu memunculkan tokoh popular, Ali
Moertopo dengan para pengikutnya yang menyebar di hamper semua posisi politik
dan birokrasi. Bersamaan dengan itu, arus politik membawa Indonesia untuk
melakukan pengintegrasian Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia pada Tahun
1976.
b. Periode
Stalinist
Fase kedua adalah periode tahun 1974-1988/1989 yang disebut
sebagai fase Stalinist. Pada fase ini otoritarianisme menjadi cirri yang
mengedepankan dalam arena kepolitikan di Indonesia. Pemerintahan menerapkan
kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus, Menteri P dan K mengeluarkan SK
028/1978 dan Kopkamtib mengeluarkan Skep 02/Kopkam/1978 yang membekukan
kegiatan Dewan Mahasiswa, menyusul kemudia dikeluarkan SK Menteri P dan K
No.0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang disertai pula
dengan perangkat BKK.
Kebijakan normalisasi kehidupan
kampus itu diterapkan dengan dalih agar mahasiswa menjadi man of analysis dan bukan moral
force atau apalagi sebagai man
political force. Dalam praktik, kebijakan itu berhasil mendepolitisasi
mahasiswa. Tidak ada gerakan mahasiswa pada periode ini, kecuali
gerakan-gerakan yang lingkup dan isi perjuangannya bersifat lokal, seperti
gerakan protes mahasiswa terhadap pembangunan Waduk kedugombo, penurun SPP,
protes pemecatan Arief Budiman di Universitas Satyawancana, protes mahasiswa
Ujungpadang atas kenaikan tarif angkot.
Pada fase ini militer bergandengan erat dengan Birokrasi
sehingga menjadi instrument politik penguasa Orde Baru yang sangat tangguh.
Lawan-lawan politik Soeharto dimarginalisasikan. Pemerintahan memberlakukan
indoktrinasi ideology pancasila dalam bahasa penguasa melalui penataran P4,
pengasastunggalan organisasi politik, kemasyarakatan maupun keagamaan;
pemberlakuan politik masa mengambang (floating
mass) setelah penasehat politik soeharto, Ali Moertopo pertama kali
berbicara tentang konsep tersebut.
c.
Periode keterbukaan
Periode ini berlangsung pada akhir 1980-an. Pada masa ini
mulai muncul kekuatan yang selama itu berseberangan dengan kekuasaan. Di
parlemen muncul “interupsi” dari salah seorang anggota fraksi ABRI (sekarang
TNI dan POLRI). Ada yang bilang periode ini merupakan saat-saat orang
mengucapkan “good-bye” untuk menjadi manusia “yes-men”, menunggu petunjuk Bapak
presiden. Dalam dunia ekonomi pemerintah mengeluarkan sejumlah deregulasi, yang
mempercepat arus massuknya modal asing. Investasi dunia perbankan menjadi
dipermudah.
Bank tumbuh bukan hanya di kota tetapi sampai ke
kecamatan-kecamatan. Dengan modal Rp 50 juta bisa membuat bank, Bank
perkreditan Rakyat (BPR). Bersamaan dengan itu, perkembangan sejarah politik
internasional ditandai dengan munculnya keterbukaan ( glasnost) dan reformasi
(perestroika) yang digulirkan oleh presiden Uni soviet, Michael Gorbachove.
d. Periode
krisis
Puncak dari keterbukaan yang berlangsung di Indonesia adalah
masa krisis. Dimulai dengan krisis moneter. Kurs Rupiah di mata dolar AS
merosot tajam. Ibarat kapal, negeri ini sedang dihantam ombak besar. Sejumlah
petinggi negeri ini mengatakan tidak ada masalah, karena fundamental ekonomi
kita cukup kuat. Ternyata tidak demikian. Indonesia terus diterpa badai
moneter, kurs rupiah benar-benar tidak terkendali, sampai lebih Rp 10 ribu per
dolar AS. Krisis ini disertai dengan krisis sosial politik yang tak terkendali.
Kelompok kritis, dosen-dosen senior perguruan tinggi negeri di Indonesia “turun
gunung” dan gelombang demonstrasi mahasiswa pecah dimana-mana. Rezim soeharto
benar-benar sedang di terpa badai, dan akhirnya menyerahkan Kekuasaan kepada
BJ. Habibie pada tahun 1998. Sejak itu berakhirlah rezim soeharto, dan
dimulailah era baru, era reformasi. Indonesia memulai lembaran baru dalam
sejarah politik, dengan awal yang tidak mudah. Tertatih-tatih bangsa ini,
mengatasi kerusuhan, pembakaran, perusakan, separatism, hingga penjambretan,
penodong dan berbagai bentuk kriminalitas yang tak terkendali oleh aparat.
2. Hubungan
Lembaga-lembaga Politik Orde Baru
Rezim Orde Baru memiliki cara-cara tertentu untuk
mempertahankan kekuasaan. Hampir tidak ada institusi politik di negeri ini yang
tidak berada dalam kontrol presiden, terutama setelah Orde Baru memasuki
periode Stalinist. Lembaga kepresidenan begitu kuat, menjadikan cabinet berada
dalam posisi subordinatif, dan bahkan parlemen tidak berdaya menghadapi
kekuasaan eksekutif, termasuk lembaga peradilan yang tidak bisa berdiri secara
independen sehingga kesemuanya menjadi instrument kekuasaan rezim Orde Baru.
Lebih terinci, bagaimana kelembagaan itu dikendalikan presiden dapat
digambarkan sebagai berikut:
a) Lembaga
kepresidenan yang Dominan
Lembaga kepresidenan yang sebenarnya sebuah institusi yang
kompleks, bukan hanya terdiri atas presiden saja, melainkan juga Wakil Presiden
dan sejumlah aparat pemerintah, sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif seperti
para menteri anggota cabinet
Dengan demikian, sampai dengan 1998, tidak ada orang di
Indonesia yang sangat kuat, selain Presiden Soeharto. Soeharto memperoleh
legitimasi sejak awal Orde Baru, terutama disebabkan karena keberhasilannya dalam
membangun ekonomi, meski kemudian sejalan dengan krisis ekonomi, krisis pula
legitimasi dan otoritas soeharto.
Ramlan Subarki menyebut ada 5 faktor yang menyebabkan
Soeharto menjadi presiden yang powerful, yaitu karena faktor:
·
Faktor konstitusi
·
Faktor budaya
·
Faktor pribadi
·
Faktor politik
·
Faktor ekonomi
Ø Pertama, konstitusi Indonesia, UUD 1945,
menempatkan ekskutif begitu kuat. Sejumlah pasal dari 13 pasal dalam UUD 1945
berkaitan dengan kekuasaan yang membuat presiden menjadi powerful dan memegang kunci kekuasaan, baik kekuasaan eksekutif,
legislatif, judicial, kebijakan luar negeri dan keamanan. Terbatas sekali
prinsip check and balance dalam
konstitusi di Indonesia.
Ø Kedua, faktor budaya turut menjadi lembaga
kepresidenan sangat kuat. Dalam budaya atau tradisi jawa, presiden dipandang
sebagai layaknya Raja. Dalam berbagai kesempatan perilaku presiden lebih
menggambarkan praktik budaya monarki daripada seorang kepala Negara modern.
Misalnya, presiden cenderung “memberi petunjuk” kepada organisasi sosial
politik, dan bukan dalam rangka artikulasi kepentingan dan kebijakan. Presiden
sama dengan sabda pendito Ratu.
Presiden memberikan kesempatan organisasi semacam ini memilih pimpinan yang
mereka inginkan sendiri.
Ø Ketiga, faktor otoritas pribadi pemangku
jabatan presiden. Seperti juga soekarno,
soeharto menduduki jabatan presiden dalam masa bakti yang cukup lama karena
keunikan kualifikasi dan sifat-sifat pribadinya. Kalau soekarno menjadi penguasa
kuat, karena ia adalah “fouding father” proklamator kemerdekaan, pemersatu
bangsa Indonesia, maka soeharto menjadi sangat kuat karena posisinya sebagai
pendiri Orde Baru, pemberantas kekejaman PKI dan penyelamat bangsa, dan “Bapak
Pembangunan.” Meski soekarno juga panglima tertinggi ABRI (kini TNI), namun
soeharto jauh lebih powerful dan memiliki otoritas lebih di tubuh ABRI, karena
ia adalah seorang jenderal yang memang pernah memimpin pasukan.
Ø Keempat, faktor sistem politik Orde Baru yang
bercorak Birokratik Otoritarian. Sistem ini menjadikan presiden bisa memegang
kekuasaan penuh dalam bidang ekonomi maupun politik yang ada. Misalnya,
presiden mengangkat sisa MPR yang tidak diisi DPR, bersidang setiap lima tahun
sekali untuk memilih presiden dan menentukan GBHN sebanyak 100 kursi DPR
disisikan bagi perwira tentara yang di angkat. Demikian pula presiden yang
mengangkat sejumlah pimpinan departemen, badan dan lembaga seperti BPKP, DPA
dan Mahkamah Agung.
Pengaruh presiden menyebar ke
seluruh aspek kehidupan politik. Sistem pemilu, politik partai, sistem
representasi kelompok kepentingan dan pemerintah daerah memberi peluang
presiden dan pejabat senior untuk melakukan intervensi di semua sektor.
Misalnya, praktik penelitian khusus (litsus) yang dilakukan oleh birokrasi
sipil dan militer terhadap pejabat pusat dan daerah serta calon pemimpin partai
menunjukkan derajat campur tangan langsung presiden terhadap berbagai institusi
dan partai politik. Di tambah lagi institusi Bakorstanasda yang bisa mengendalikan
berita macam apa dan siapa yang boleh berbicara kepada public.
Ø Kelima, faktor ekonomi. Kinerja pemerintah
Orde Baru dalam pembangunan ekonomi memberikan kesempatan rakyat meningkatkan
kesejahteraan. Pemerintah Orde Baru berhasil menaikkan produksi beras,
meningkatkan angka melek huruf, pelayanan kesehatan, pendidikan, transportasi
dan komunikasi serta membuka kesempatan kerja di lapangan industry. Dengan
diberi predikat sebagai “Bapak pembangunan” menunjukkan presiden diakui
memiliki peran yang besar dalam mencapai prestasi pembangunan tersebut.
b) Lembaga
peradilan yang tidak independen
Lembaga peradilan di Indonesia selama Orde Baru, Menurut
Subarki, lebih berkaitan dengan persoalan pertumbuhan ekonomi, dilihat dari :
1) Masalah yang sampai ke Mahkamah
Agung banyak yang berkaitan dengan sengketa tanah dan penggunaan tanah untuk
tujuan pembangunan.
2) Naiknya pajak memungkinkan untuk
menaikkan gaji pejabat peradilan (gaji hakim pernah dinaikan seratus persen).
3) Pemerintahan mendirikan delapan PTUN
lengkap dengan infrastruktur bangunan, hakim dan staf serta berbagai fasilitas
di seluruh Indonesia.
Semua hakim agung, termasuk para
deputi diangkat oleh presiden dari daftar calon yang diusulkan oleh DPR. Namun
Mahkamah Agung tidak memiliki otoritas yang cukup untuk menentukan apakah
kebijakan pemerintah dan tindakannya sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Sementara itu semua hakim di daerah maupun di pengadilan tinggi adalah pegawai
negeri, yang diangkat, dipromosikan, digajikan dan diawasi oleh Departemen
Kehakiman. Anggaran mereka ditentukan oleh Seketariat Negara. Dengan demikian
peradilan di Indonesia, termasuk Mahkamah Agung disusun sebagai bagian dari
pemerintah daripada sebagai lembaga peradilan. Di kalangan pemerintah berkembang
pemahaman bahwa “ hukum harus dipakai dalam rangka pembangunan.” Sehingga tidak
berpikir pentingnya sistem peradilan yang independen yang sebenarnya dibutuhkan
untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
3. Hubungan
Negara dan Masyarakat
Selama masa Orde Baru Negara sangat kuat. Tidak ada
perubahan yang tidak di mulau dari Negara. Masyarakat tidak memiliki ruang
partisipasi politik. Masyarakat dimobilisasi oleh Negara. Partisipasi bukan
bermakna turut serta merencanakan, melaksanakan dan mengawasi kebijakan
pembangunan. Partisipasi berubah makna menjadi turut serta member sumbangan
dari proyek pemerintah yang dibiayanya kurang.
Negara menjadi sangat kuat di mata masyarakat karena Negara
mengorganisasikan masyarakat yang memiliki beragam kepentingan secara
korporatis. Dengan di organisasikan secara korporatis, masyarakat yang plural
dapat menyalurkan kepentingan yang berbeda-beda melalui mekanisme yang tidak
perlu menimbulkan konflik antar kelompok atau antar kelas. Perbedaan
kepentingan kelompok dan kelas dapat diselesaikan melalui wakil-wakil mereka
dalam organisasi korporatis. Dengan demikian korporatis adalah suatu usaha
nyata untuk menekan konflik kelas atau kelompok kepentingan dengan baik tidak
menggunakan kekerasan (coersif).
Melalui pengorganisasi secara korporatis inilah Negara
menaklukkan masyarakat sendiri. Negara dengan mudah memenuhi berbagai
kepentingannya yang otonom, kepentingan eksklusif Negara yang tidak
mencerminkan aspirasi dan tuntutan masyarakat. Sebagai implikasinya, maka masyarakat
mengalami depolitasasi. Masyarakat yang tersingkir, tereksploitasi, tidak kuasa
melawan tekanan-tekanan Negara. Masyarakat yang miskin seperti kaum buruh,
petani, nelayan, pegawai rendahan dan yang tersisihkan lainnya tidak cukup
memiliki kesadaran politik yang memadai untuk menghadapi intervensi Negara.
Negaranisasi terjadi hingga sampai pedesaan tang terpencil sekalipun.
4. Praktik
Negara hegemonik dan koersif
Negara pada masa Orde Baru menjadi sangat kuat, antara lain
juga karena menerapkan cara-cara hegemoni dikombinasi dengan koersif. Hegemoni
adalah cara menundukkan orang lain tidak menggunakan kekerasan, melainkan
menggunakan cara-cara cultural seperti pengguna ideology, agama, nilai-nilai
budaya tertentu sebagai alat kekuasaan.
Dalam kerangka hegemony
pemerintah Orde Baru menggunakan ideology pancasila sebagai instrument
berkuasa. Pada tahun 1978 pemerintah menyusun penafsiran pancasila menjadi Eka Prastya Pancakarsa dan untuk
kepentingan sosialisasi penafsiran itu diselenggarakan piñata P4 untuk seluruh
lapisan rakyat Indonesia, baik pegawai negeri maupun masyarakat biasa. Tahun
1983 pemerintah juga melakukan penunggulan azaz bagi organisasi sosial
kemasyarakatan, keagaman maupun politik.
5. Peran
Militer, Parpol dan dampaknya terhadap HAM
Rezim Orde Baru bisa dikatakan kemenangan militer, karena
peranannya menjadi sangat besar. ABRI ( di kemudian hari berubah menjadi TNI )
mengitervensi politik sipil melalui doktrin dwifungsi. Dengan doktrin ini militer memperoleh legitimasi untuk
masuk ke ranah politik sipil. Antara lain dengan menempatkan tenaga militer
yang aktif maunpun pensiunan di MPR, DPR, DPRD, eksekutif dan staf pemerintah
pusat maupun daerah. Sejumlah lembaga Negara penting seperti Depdagri selalu
dipegang ABRI. Pada tahun 1996 seperempat jabatan setingkat cabinet termasuk
Menteri Agama dan jumlah besar eselon II dipegang oleh perwira yang masih dinas
atau sudah pension. ABRI juga melakukan kontrol terhadap Golkar, mengawasi
penduduk melalui komando territorial.
Dalam konteks ini, sejalan dengan semakin tinggi tingkat
kesadaran politik masyarakat, sehubungan dengan meluasnya masyarakat yang
terdidik, maka semakin menyebar kekuatan kritis di masyarakat. Namun semakin
kritis masyarakat, ternyata militer cenderung semakin represif. Semakin
represif militer, maka semakin banyak pelanggaran HAM dan semakin sering muncul
yang disebut dengan the state violence sejak
dari kasus Tanjung Priok, Lampung Haor Koneng dan beberapa kasus lainnya. Kasus
pelanggaran HAM yang cukup menggempar dan membuat posisi militer semakin
tersudut adalah kasus penyiksaan tokoh buruh wanita, Marsinah, di jawa Timur
tahun 1993. Para majikan Marsinah di tangkap, tetapi perwira di komando militer
setempat.
6. Kebijakan
Politik Aliran
Kemenangan Orde Baru, ada yang menafsirkan sebagai
kemenangan “orang jawa” karena Orde Baru didominasi militer yang memerintah
sejak 1966 secara prinsip tidak dekat dengan Islam. Banyak elit Orde Baru
dibesarkan dalam lingkungan Hindu-jawa sehingga menjadikan mereka lebih kuat
dari yang lain. Sikap permusuhan elit penguasa Islam telah mendorong pemerintah
untuk melarang kembalinya masyumi tahun 1966, termasuk memangkas partai Islam
dan menfusikannya kedalam PPP pada tahun 1973. Elit Orde Baru lebih cenderung
berkoalisi dengan orang-orang Cina Katolik, sosial bekas anggota PSI dan
sejumlah perwira militer anti Islam sengan Ali murtopo pendiri CSIS sebagai
otak di belakang semua kebijakan Orde Baru. Pada SU-MPR 1973, ia “menampak umat
islam” dengan mengusulkan aliran kepercayaan berstatus sebagai Agama.
NB; (Perspektif Islam politik
memandang hubungan Islam dan politik sebagai bersifat organic. Masalah politik,
hukum maupun ekonomi diimajinasikan sebagai terkait secara structural dari
sistem religious Islam yang dipahami secara skriptualistik, legistik dan
formalistic. Lihat Bahtiar Efendy, Islam
dan Negara : tranformasi pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia, Jakarta:
Paramadina, 1998, hal. 48-58)
F. ERA
REFORMASI
Ø Pemerintahan
Habibie : Presiden
Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah
kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter
Internasional
dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga
membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan
berpendapat dan kegiatan organisasi.
Ø Pemerintahan
Wahid : Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD
diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati
Sukarnoputri
keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari
seluruh suara; Golkar (partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang
pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan
Pembangunan
pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan
Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid
sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun.
Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan
Nasional pada awal
November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000. Pemerintahan Presiden Wahid
meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang
menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut,
pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama
di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak
mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur
pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar.
MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden
Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Ø Pemerintahan
Megawati : Pada
Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan
pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar
mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah
tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya,
dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari
kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak
lama kemudian.Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan kabinet
gotong royong.
Ø Pemerintahan
Yudhoyono ; Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia
diadakan dan Susilo Bambang
Yudhoyono tampil
sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya
telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh
lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada
awal 2005 yang
mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara
pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik
berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.
G. PERGESERAN
POLITIK ERA REFORMASI
Memasuki 1998, bangsa Indonesia
kemudia berhasil melakukan reformasi, melengserkan rezim monolitik. Negara lalu
bukan saja mengalami delegitimasi, tetapi juga demoralisasi dimata masyarakat.
Sejak itu posisi burgaining
masyarakat meningkat, sehingga suara mereka jauh lebih ber “daya”
sekurang-kurangnya disbanding dengan era sebelumnya. Bangsa Indonesia lalu
memulai era baru dengan semagat membangun sistem yang demokratis. Era ini
Nampak lebih menjanjikan ruang partisipasi bagi semua elemen masyarakat dalam
berbagai kehidupan ekonomi, sosial maupun politik.
H. KESIMPULAN
1) Sistem politik melaksanakan berbagai
aktivitas yang ditujukan untuk meraih tujuan-tujuan bersama yang telah
dirumuskan tersebut. Untuk melaksanakan aktivitas yang komplek itu, maka sistem
politik memerlukan badan atau struktur-struktur yang akan bekerja dalam sistem
politik seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan, dan partai politik yang
melaksanakan fungsi tertentu.
2) Tokoh politik itu adalah seseorang
yang dikenal masyarakat luas, karena jasanya, pemikirannya, idealismenya, dan
perjuangannya selama perjalanan hidupnya.
3) Sistem politik Indonesia pada masa reformasi
sedikit banyaknya mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Bermunculan
lembaga dan sistem yang baru dalam rangka merespon permasalahan bangsa yang
semakin kompleks. Sehingga masyarakat dapat mengepresikan berbagai aspirasi.
4) Sistem pemerintahan Orba di mulai
pada tanggal 11 Meret 1966 sampai dengan 21 mei 1998. Selama 32 tahun
pemerintah Soeharto memimpin negara RI, telah terjadi pemusatan kekuasaan
negara di tangan presiden.
5) Melihatnya secara dikotomis, bahwa
reformasi adalah “buku putih,” sedangkan Orde Baru adalah “buku hitam” dalam
sejarah kepolitikan Indonesia. Dimana Bahwasannya sejarah politik Orde Baru
menghasilkan krisis memang tidak bisa dibantah, tetapi Orde Baru bukanlah
sebuah fenomena politik yang monolitik, yang dijelaskan dengan menggunakan satu
atau dua kata kunci saja. Orde Baru belakangan menanpilkan cirinya yang
otoritarian. Namun sebenarnya Orde Baru juga tercatat memiliki komitmen
menumbuhkan demokrasi terutama fase awal pertumbuhan Orde yang dipimpin oleh jenderal
Besar Haji Muhammad Soeharto ini. Namun berakhirnya Orde Baru Bangsa Indonesia
lalu memulai era baru yaitu Era Reformasi dengan semagat membangun sistem yang
demokratis. Era ini Nampak lebih menjanjikan ruang partisipasi bagi semua
elemen masyarakat dalam berbagai kehidupan ekonomi, sosial maupun politik
I.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mumtaz, “Pakistan,” dalam shireen T. Hunter, edt., politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan
Kesatuan, Yogyakarta: Tiarawacana,
2001.
Antlov, Hans, dan Sven Cederroth, edt, Election in Indonesia: The New Orde and beyond,”London and New
York: Routledge Curzon, 2004.
Elson, Robert, ‘Brief Reflection on Indonesia Political
History,’ dalam Grayson Lloyd dan Shannon Smith edt., Indonesia Challenge of History, Singapore: ISEAS, 2003
Maliki Zainuddin, Agama
priyayi, Yogyakarta: Pustaka Mawar, 2004-a. edt., Agama Rakyat Agama Penguasa, Yogyakarta: Galang Press, 2000. Penakluk Negara atas Rakyat, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1999.
Sukarna, 1977. Sistem
politik.Bandung: Penerbit Alumni.
Winarno, Budi., Sistem
politik Indonesia, Era Reformasi. Yogyakarta: Penerbit MedPress, 2007
No comments:
Post a Comment